Perjanjian Giyanti adalah salah satu perjanjian yang menjadi bagian dari perjalanan kerajaan Mataram
Tidak bisa dipungkiri, Kerajaan Mataram ini tidak bisa dilepaskan dari adanya Perjanjian Giyanti.
Ya, perjanjian ini adalah salah satu perjanjian yang paling penting yang sangat berpengaruh pada masa depan kerajaan Mataram di Tanah Jawa.
Karena perjanjian ini, Mataram Kuno akhirnya harus dibagi menjadi dua.
Hal inilah yang membuat cukup banyak kalangan mengatakan Giyanti adalah perjanjian yang kontroversial.
Perjanjian ini dinilai sebagai salah satu propaganda VOC untuk memecah belah Mataram Kuno dan membuatnya kehilangan kekuasaan.
Hal ini cukup beralasan karena setelah pembagian tersebut, kekuasaan Mataram Kuno menjadi terbatas dan sarat konflik internal.
Daftar Isi Artikel
Sejarah Perjanjian Giyanti
Perjanjian ini merupakan perundingan yang dilakukan oleh pihak Kerajaan Mataram dan VOC yang berasal dari Belanda.
Perjanjian tersebut dilakukan karena akan diadakannya pembagian kekuasaan dari Kesultanan Mataram. Secara umum, perjanjian ini membahas tentang pembagian wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua.
Pembagian wilayah ini didasarkan pada letak daerah yang dibelah oleh Sungai Opak. Tidak hanya membagi wilayah, kepemimpinan Mataram juga dibagi.
Wilayah timur Sungai Opak dipimpin oleh Sunan Pakubuwana III dan wilayah barat Sungai Opak dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono I.
Sejak adanya Perjanjian Giyanti ini, maka berakhir sudah kekuasaan Mataram yang utuh. Sejak saat itulah menjadi awal baru Mataram menjadi dua wilayah yang berbeda.
Waktu Perjanjian Giyanti
Perjanjian ini dilakukan sekitar tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian ini dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama karena masing-masing pihak tergolong susah untuk sampai pada kata sepakat.
Selain itu, ada beberapa pertemuan di bulan sebelumnya sebagai inisiasi atau awalan sebelum perjanjian ini dimulai.
Setelah perundingan tersebut, akhirnya pada pertengahan Februari, Perjanjian Giyanti beserta isinya bisa disepakati bersama.
Kesepakatan tersebut seolah menjadi solusi dari pertikaian yang panjang yang seolah tidak berujung.
Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Giyanti
Ada cukup banyak latar belakang mengapa perjanjian ini harus diselenggarakan.
Namun, salah satu latar belakang Perjanjian Giyanti yang paling kuat adalah adanya keinginan daripada Pangeran Mangkubumi untuk melawan pemberontakan Pangeran Sambernyawa yang merongrong kekuasaan tanah Mataram.
Saat itu, Pangeran Sambernyawa hendak melawan dan memberontak kepada pemerintah karena adanya intervensi VOC dalam urusan rumah tangga Kerajaan Mataram, terutama setelah Sultan Agung wafat.
Bahkan, VOC berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pihak kerajaan,
Sayangnya, Pangeran Mangkubumi memilih untuk berkompromi dengan pihak VOC. Ia bekerja sama dengan VOC dan menggalang kekuatan yang baru untuk menghadapi Pangeran Sambernyawa.
Karena pertarungan internal inilah yang melahirkan perjanjian ini.
Tokoh Perjanjian Giyanti
Dalam Perjanjian Giyanti terdapat beberapa tokoh yang ikut serta dalam perjanjian tersebut. Beberapa tokoh tersebut mewakili pihak masing-masing yang terlibat.
Hanya saja, terjadi keanehan karena pihak Pangeran Sambernyawa tidak diikutsertakan dalam perjanjian yang dilakukan tersebut.
Adapun tokoh yang berperan dari pihak Pangeran Mangkubumi adalah Pangeran Natakusuma dan juga Tumenggung Ronggo. Ini adalah tokoh-tokoh yang mewakili Kesultanan Mataram.
Sementara dari pihak lainnya, adalah pihak Hartingh. Ia didampingi oleh Breton, Kapten C. Donkel dan W. Fockens. Sementara tokoh yang bertindak sebagai juru bahasa adalah pendeta Bastani.
Isi Perjanjian Giyanti
Ada cukup banyak isi Perjanjian Giyanti yang menjadi buah perundingan yang cukup a lot. Isi perjanjian tersebut dibagi menjadi beberapa pasal.
Adapun pasal-pasal yang menjadi isi dari perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah yang memiliki kekuasaan separuh dari Kerajaan Mataram.
Kekuasaan ini akan diberikan kepada keturunan Raja tersebut, dalam hal ini adalah Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
2. Pasal 2
Diadakan kerja sama antara rakyat yang ada pada kekuasaan Belanda dan rakyat dari Kesultanan
3. Pasal 3
Sebelum Patih Dalem dan Bupati melakukan tugas masing-masing, mereka akan disumpah kepada Kumpeni Belanda di tangan Gubernur.
Intinya, dari kedua kerajaan harus berkonsultasi kepada Belanda dan pihak Belanda akan menunjukkan sikapnya.
4. Pasal 4
Pengangkatan dan pemberhentian Patih Dalem dan Bupati Sri Sultan harus mendapatkan persetujuan dari pihak Kumpeni Belanda.
Pokok-pokok pemikiran harus disampaikan pada pihak Belanda dan Sultan tidak bisa menolak apa yang sudah disampaikan oleh Dewan Hindia Belanda.
5. Pasal 5
Sri Sultan mengampuni Bupati yang selama masa peperangan membela atau berada di pihak Belanda
6. Pasal 6
Sri Sultan tidak menuntut posisi atas pulau Madura dan juga daerah pesisir karena telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Belanda pada 18 Mei 1746 dan tertulis.
Sebagai gantinya, Belanda memberikan ganti rugi sebanyak 10.000 real per tahun kepada Sri Sultan
7. Pasal 7
Sri Sultan akan memberikan bantuan hukum kepada Sri Sunan Paku Buwono III jika dibutuhkan sewaktu-waktu.
8. Pasal 8
Sri Sultan akan berjanji menjual seluruh bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada pihak Belanda
9. Pasal 9
Sri Sultan berjanji harus menaati segala macam perjanjian yang sudah pernah diadakan sebelumnya dari raja-raja Mataram sebelumnya kepada pihak Belanda.
Dari pasal yang terangkum selama perjanjian, pihak Belanda mendapatkan banyak keuntungan.
Mereka mendapatkan hak-hak dan kemewahan, sementara penduduk Mataram yang merupakan pribumi diatur sedemikian rupa dan dilemahkan.
Dampak Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti yang dirasakan timpang tersebut membuat terjadinya dampak-dampak yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Setelah perjanjian terjadi, kerusuhan yang diharapkan untuk diselesaikan, ternyata terus terjadi. Kerusuhan merajalela di banyak tempat dan memakan banyak korban dari kedua kubu.
Kerusuhan tersebut tidak bisa terelakkan karena pihak kelompok Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut.
Ini adalah salah satu bukti bahwa Belanda memang ingin mengadu domba pihak-pihak dari kerajaan Mataram.
Pangeran Sambernyawa menganggap bahwa perjanjian tersebut adalah akal-akalan dari pihak Belanda saja dan merupakan persekongkolan pihak Mangkubumi dengan VOC untuk menyingkirkan pihaknya.
Oleh karena itu, pemberontakan dikobarkan dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun sebelum akhirnya bisa ditumpas habis.
Pelanggaran Perjanjian Giyanti
Pihak Belanda semakin bertindak semena-mena terhadap kondisi Kesultanan Mataram. Mereka yang merupakan pihak luar terlalu banyak mengatur kepentingan dari Kesultanan Mataram.
Tidak hanya itu, perjanjian yang mereka buat, akhirnya mereka langgar sendiri. Banyak kesepakatan yang akhirnya mentah karena Belanda tetap pada posisinya sebagai penjajah.
Kondisi ini sangat tidak menguntungkan Kesultanan Mataram. Pangeran Mangkubumi yang pro pada Belanda dibuat terbuai dengan nikmat dunia yang ia rasakan.
Sementara rakyat yang terbebani, semakin sengsara dan membuat pertikaian tidak kunjung reda. Pemisahan wilayah yang dianggap sebagai solusi dari pertikaian nyatanya tetap tidak berhasil meredakan permusuhan.
Demikian beberapa ulasan mengenai Perjanjian Giyanti. Perlu diketahui bahwa ini adalah salah satu perjanjian yang mengubah wajah Kesultanan Mataram hingga saat ini.
Tentu, penting bagi kita untuk senantiasa mempelajari perjanjian kuno agar mengetahui bagaimana perjuangan bangsa ini.
Akibat perjanjian inilah kini dikenal dengan adanya Paku Alam dalam pemerintahan di Yogyakarta.
Demikian penjelasan roem royen dari kami dosenmuda.id semoga bermanfaat! Terimakasih telah berkunjung dan salam sukses!
Originally posted 2022-04-08 14:09:12.